Jumat, 14 Desember 2012

Mahasiswa, Globalisasi, Religiusitas, dan Agama Bila dibandingkan dengan adik-adik dan orangtua mereka, ciri khusus dari mahasiswa pada umumnya adalah bahwa mereka lebih tua daripada adik-adik mereka dan jauh lebih muda daripada orangtua mereka. Para mahasiswa itu pada umumnya berusia sekitar 19-25 tahun. Mereka adalah orang-orang muda. Mereka memang bukan anak-anak lagi, namun mereka juga belum cukup tua untuk menjadi suami/istri atau ayah/ibu. Energi fisik mereka, pada umumnya, sedang berada pada titik optimalnya. Namun, kondisi psikis mereka belum stabil, masih mudah terguncang oleh berbagai hal. Sebagian dari mereka sudah memiliki cita-cita yang agak jelas dan keinginan-keinginan tertentu di masa depan, namun mereka belum menentukan cara-cara yang efektif untuk mencapai cita-cita dan mewujudkan keinginan-keinginan itu. Bila dibandingkan dengan kegiatan pokok rekan-rekan sebaya mereka yang bukan mahasiswa, kegiatan pokok para mahasiswa itu adalah membaca, berpikir, dan menulis. Kebanyakan dari mereka belum memiliki pekerjaan tetap dan secara finansial belum mampu mencukupi diri sendiri. Dalam hal-hal tertentu mereka masih tergantung pada orangtua atau wali mereka. Studi dan pergaulan mereka di lingkungan akademisi itu dapat meningkatkan daya kritis para mahasiswa terhadap segala hal. Peningkatan daya kritis itu juga dapat memengaruhi sikap mereka terhadap religiusitas dan agama mereka sendiri. Terhadap agama, misalnya, mereka barangkali tidak mau lagi menerima “begitu saja” semua pengajaran dan nasihat para pemimpin agama. Sementara itu, terhadap religiusitas mereka sendiri para mahasiswa barangkali merasa perlu untuk mempersoalkan beberapa aspek darinya. Menyadari hal-hal di atas, pimpinan perguruan tinggi katolik sebaiknya mengusahakan fasilitas dan suasana yang memungkinkan para mahasiswa mengalami kemajuan dalam religiusitas dan hidup beragama mereka. Fasilitas dan suasana semacam itu sebaiknya dikaitkan dengan peningkatan daya kritis mereka. Kepada mereka perlu diberikan exposure yang luas dan mendalam tentang religiusitas dan agama yang “sejati”, religiusitas dan agama yang jauh dari fundamentalisme, fanatisme, dan konservatisme. Para mahasiswa perlu diberi kesempatan yang luas untuk mengenal dan menyaksikan religiusitas dan agama yang sesuai dengan daya kritis mereka. Mereka bahkan perlu didorong dan ditantang untuk menjadi pelopor “kebangunan rohani” di dalam masyarakat, agar agama menjadi “aktor penting” dalam hidup umat manusia. Agama harus dibangun menjadi “spiritual actor” dan “stakeholder” yang penting dalam memecahkan masalah-masalah dunia, bukan malah menjadi bagian dari masalah-masalah itu sendiri. Religiusitas dan agama yang “sejati” itu jauh lebih luas daripada sekedar pengetahuan tentang ajaran-ajaran dan aturan-aturan agama. Karena itu, demi peningkatan religiusitas dan hidup beragama mereka, para mahasiswa perlu diberi kesempatan tidak hanya untuk mengikuti kuliah religiusitas atau kuliah agama, melainkan juga untuk mengikuti berbagai program ko-kurikuler dan extra-kurikuler. Program-program ko-kurikuler, yang sebaiknya dirancang dan dilaksanakan bersama-sama oleh para mahasiswa dan staff campus ministry, dapat dikaitkan dengan mata kuliah religiusitas atau mata kuliah agama. Program-program semacam itu, misalnya, dapat berupa retret, rekoleksi, gladi rohani, kunjungan-kunjungan ke gereja, mesjid, pura, dan klenteng, atau bahkan berupa live in selama beberapa hari di pesantren, biara, vihara, asrama, sekolah-sekolah, dan rumah-rumah sakit yang dikelola oleh yayasan-yayasan berbagai agama. Program-program extra-kurikuler, yang sebaiknya dirancang dan dilaksanakan dengan sukarela oleh para mahasiswa sendiri, tidak perlu dikaitkan dengan mata kuliah religiusitas atau mata kuliah agama. Program-program tersebut sebaiknya diakui sebagai program-program pengembangan soft skills mahasiswa. Program-program semacam itu, misalnya, dapat berupa partisipasi dalam kelompok-kelompok umat yang mengembangkan spiritualitas khusus (seperti Legio Mariae, Choice, Antiokhia, atau Persekutuan Doa Karismatik) atau dialog-dialog pribadi dengan tokoh-tokoh masyarakat yang layak menjadi panutan bagi banyak orang beragama. Agama dan Ilmu Di masa lalu, sebagian dari para pemimpin agama kurang menghargai dan kurang mendukung perkembangan ilmu. Hukuman ex-communicatio yang dijatuhkan oleh Vatikan kepada Galileo Galilei, misalnya, merupakan salah satu contoh dari sikap semacam itu. Sebagai koreksi atas hal itu, para pemimpin agama dewasa ini harus berani menjelaskan dengan tegas bahwa agama, pada prinsipnya, sangat menghargai dan mendukung ilmu dan para ilmuwan. Bersamaan dengan itu, perguruan tinggi katolik sebaiknya juga berusaha membantu para mahasiswa agar mereka mengalami dan menyaksikan bahwa religiusitas dan agama itu tidak bertentangan dengan ilmu. Agama itu menyangkut Allah dan hubunganNya dengan umat manusia dan dunia. Agama didasarkan pada pewahyuan Allah dan iman manusia kepadaNya. Berbeda dari itu, ilmu terutama menyangkut dunia dan hubungannya dengan umat manusia. Ilmu didasarkan pada pengamatan dan pengenalan manusia atas dunia, yang merupakan lingkungan hidupnya. Agama dan ilmu tidak terpisah atau bertentangan, sebab kedua-duanya menyangkut umat manusia dan dunia. Umat manusia membutuhkan kedua-duanya, sebab umat manusia membutuhkan Allah maupun dunia. Umat manusia membutuhkan Allah, karena Beliau adalah asal-usul dan tujuan akhir dari eksistensi umat manusia. Umat manusia juga membutuhkan dunia, karena dunia adalah lingkungan yang saat ini memungkinkan umat manusia ber-eksistensi, sebagai salah satu dari sekian banyak ciptaan Allah. Agama dan ilmu itu ibarat matahari dan bulan, ibarat sendok dan garpu, ibarat baju dan celana. Kedua-duanya diperlukan oleh manusia, bila manusia ingin hidup secara lengkap. Baik agama maupun ilmu memiliki essential goals dan core business yang terkait dengan kebenaran dan kesejahteraan bagi umat manusia. Yang berbeda hanyalah cara yang dipakai untuk mencapai tujuan luhur itu dan aspek-aspek yang diutamakan. Agama selalu menyertakan Allah dalam sepak terjangnya. Sementara itu, ilmu selalu mengutamakan kemampuan manusia sendiri dalam seluruh usahanya meneliti dan menemukan kebenaran. Berhubungan dengan kenyataan itu, para mahasiswa perlu didorong untuk ikut membangun agama agar agama bersikap welcome terhadap ilmu, tidak bersikap arogan terhadap ilmu, bahkan bersedia dengan rendah hati mengakui dan memanfaatkan ilmu. Bersamaan dengan itu, mereka juga perlu didorong untuk ikut membangun ilmu agar ilmu juga bersikap welcome terhadap agama, tidak melecehkan agama, bahkan bersedia dengan rendah hati mengakui bahwa masalah-masalah tertentu dari kemanusiaan merupakan domain agama. Agama dan Masyarakat Adanya sikap-sikap fundamentalistik, sikap-sikap fanatik, dan sikap-sikap konservatif di tengah-tengah beberapa komunitas agama di negeri kita, maupun di beberapa negara lain, dapat menimbulkan dalam diri para mahasiswa kesan negatif terhadap agama. Sebagian dari mereka mendapat kesan bahwa agama itu penghambat peradaban dan kesatuan bangsa. Sikap-sikap fundamentalistik, fanatik, dan konservatif itu bertentangan dengan daya kritis mereka. Karena itu, perguruan tinggi perlu berusaha mencegah dan mengatasi kesan negatif semacam itu. Perguruan tinggi perlu membantu para mahasiswa agar mereka menyadari dan meyakini bahwa religiusitas dan agama yang “sejati” tidaklah menghambat peradaban dan kesatuan bangsa. Sebaliknya, religiusitas dan agama yang “sejati” justru mengembangkan peradaban dan meningkatkan kesatuan bangsa. Konstitusi beberapa negara modern menegaskan bahwa agama merupakan kenyataan yang bersifat privat, urusan perseorangan, tidak terkait dengan kepentingan publik. Berbeda dari itu, konstitusi negara kita cenderung menegaskan bahwa agama tidak hanya merupakan urusan privat melainkan juga terkait dengan kepentingan publik, sekurang-kurangnya sampai pada batas-batas tertentu. Itulah sebabnya maka orang suka berkata bahwa Republik Indonesia itu bukan negara sekuler tetapi juga bukan negara agama. Terkait dengan kepentingan publik, ada beberapa masalah sosial aktual yang kiranya pantas disadari oleh para mahasiswa. Karena itu, perguruan tinggi sebaiknya membantu mereka untuk memahami inti masalahnya dan mendorong mereka untuk ikut mencari solusi atasnya. Masalah-masalah itu, antara lain, menyangkut pelanggaran atas hak asasi manusia, ketidaksetaraan gender, menurunnya kualitas lingkungan hidup, pengaruh dominan media massa, dan ketidakadilan tata ekonomi internasional. Mengingat bahwa masih banyak orang biasa kurang menyadari akan adanya berbagai pelanggaran hak asasi manusia di negeri kita, para mahasiswa sebaiknya didorong menjadi pelopor dalam usaha mengatasi masalah yang serius itu. Keberhasilan gerakan mahasiswa dalam penumbangan Orde Lama dan Orde Baru pada tahun 1965 dan tahun 1998 menunjukkan bahwa para mahasiswa memiliki potensi untuk membongkar kekuasaan yang korup dan kurang menghargai hak-hak asasi manusia rakyat mereka sendiri. Suasana di perguruan tinggi, terutama bila dibandingkan dengan suasana di rumah-rumah dan di desa-desa, lebih memungkinkan berhasilnya konsientisasi tentang pentingnya kesetaraan gender. Dewasa ini, jumlah mahasiswa dan jumlah mahasiswi di banyak perguruan tinggi di negeri kita cenderung seimbang. Kenyataan itu sendiri sudah membantu para mahasiswa dan para mahasiswi bahwa pria dan wanita itu memiliki martabat dan status yang setara. Gerakan-gerakan Go Green saat ini makin menyebar ke seluruh dunia. Hasil penelitian para ahli ekologi mendapat perhatian yang makin besar dari para pemimpin negara di seluruh dunia. Karena itu, kiranya layaklah kalau para mahasiswa didorong untuk bergabung dalam gerakan-gerakan Go Green itu. Bila dibandingkan dengan anak-anak dan orang-orang tua, para mahasiswa kiranya merupakan konsumen terbesar dari produk-produk media massa. Sayangnya, sebagian dari mereka kurang sadar bahwa di balik produk-produk itu ada the men behind the gun, yakni para sponsor yang membiayai pembuatan produk-produk tersebut. Para sponsor itu bukanlah orang-orang yang dermawan, yang bermaksud menghibur masyarakat secara cuma-cuma. Mereka adalah orang-orang berduit yang “menjual keyakinan” mereka. Karena itu, perlulah bahwa para mahasiswa dibantu dan didorong untuk bersikap kritis terhadap contents atau messages dari media massa yang mereka konsumsi. Akhirnya, para mahasiswa juga perlu dibantu untuk menyadari bahwa dewasa ini sedang terjadi ketidakadilan dalam tata ekonomi internasional. Kemiskinan dan pengangguran yang ada di negeri kita tidaklah terlepas dari kondisi tersebut. Tanpa usaha untuk mengatasi ketidakadilan itu, kecil sekali kemungkinan bahwa masalah kemiskinan dan pengangguran akan teratasi. Agama dan Negara Beberapa tokoh agama dan politisi di negeri kita tampaknya kurang mampu melihat dengan tepat hubungan antara agama dan negara. Beberapa tokoh agama berusaha merapat pada para pejabat negara, mengharapkan negara ikut mencukupi kebutuhan-kebutuhan internal agama. Sementara itu beberapa pejabat negara juga berusaha merapat pada para tokoh agama, mengharapkan agama selalu mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Mengingat hal itu, para mahasiswa sebaiknya dibantu dan didorong untuk meyakini bahwa agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda dan otonom, meskipun keduanya perlu bekerja sama di banyak bidang, karena keduanya memiliki hak dan tugas melayani seluruh masyarakat di negeri ini. Pemerintah, misalnya, boleh saja mengumumkan bahwa hari-hari raya agama merupakan hari-hari libur kerja dan hari-hari libur sekolah. Namun pemerintah tidak boleh mengumumkan, misalnya, bahwa hari raya Natal bagi umat kristen di Indonesia adalah tanggal 17 Agustus! Mengingat bahwa masyarakat Indonesia memeluk beberapa agama yang berbeda-beda, pemerintah diharap bertindak arif kepada semua agama dan para pemeluknya. Pemerintah perlu terus-menerus berusaha meyakinkan para pemimpin dan pemeluk agama mayoritas bahwa mereka tidak berhak menekan para pemimpin dan pemeluk agama-agama minoritas. Para pemimpin dan pemeluk agama-agama minoritas itu kadang-kadang sungguh membutuhkan perlindungan pemerintah, agar hak asasi mereka tetap dijamin di negeri ini. Sikap bijak yang serupa diharapkan juga ada pada para pemimpin dan pemeluk semua agama. Mereka diharap sadar bahwa tugas pemerintah adalah mengusahakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, bukan terutama untuk memberikan berbagai privileges kepada para pemimpin dan pemeluk agama. Para pemimpin dan pemeluk agama-agama harus memiliki kepercayaan diri yang cukup. Mereka harus yakin, umat beragama mampu berkembang dalam religiusitas bukan karena perlindungan dan bantuan pemerintah, melainkan karena bantuan ilahi dan usaha-usaha mereka sendiri. Relasi antara agama dan negara kiranya perlu dilaksanakan dan dikembangkan menuju relasi yang bersifat komplementer dan solider. Relasi antara agama dan negara sebaiknya bersifat komplementer, karena masing-masing memiliki keterbatasan dalam hak dan kewajiban serta dalam kemampuannya untuk mengemban hak dan kewajiban tersebut. Agama memiliki hak dan kewajiban di bidang-bidang religius, sedang negara memiliki hak dan kewajiban di bidang-bidang sipil. Relasi antara agama dan negara sebaiknya juga bersifat solider, karena kedua entitas itu saling membutuhkan bantuan, terutama dalam usaha untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Agama dan Budaya Agama dan budaya merupakan dua kenyataan yang saling terkait secara sangat erat. Dari budaya, agama mengambil banyak unsur dan menjadikannya bagian-bagian penting bagi dirinya. Demikian pula sebaliknya, budaya dapat mengambil banyak unsur dari agama dan menjadi bagian-bagian penting bagi dirinya. Meskipun demikian, perlulah disadari dan diyakini, bahwa agama dan budaya itu tidak identik. Agama, pef definitionem, memuat unsur-unsur ilahi, yang berasal dari luar budaya, bahkan dari luar dunia. Sementara itu, budaya hanyalah memuat unsur-unsur manusiawi, yang berasal dari dalam dunia. Para mahasiswa, sebagai calon orang-orang terpelajar di dalam masyarakat, perlu didorong untuk memahami dengan baik kaitan dan perbedaan antara agama dan budaya. Mereka sebaiknya dibantu untuk melihat unsur-unsur ilahi dalam agama, yang tidak berasal dari budaya tertentu. Unsur-unsur itu bersifat adikodrati. Pewahyuan bahwa Allah itu Tritunggal dan bahwa Yesus itu Putra Allah, misalnya, merupakan suatu kebenaran yang bersifat adikodrati. Sebaliknya, bentuk-bentuk konkret perayaan Ekaristi atau pembaptisan, misalnya, sangat kental bermuatan unsur-unsur budaya. Sekularisme, yang pada abad yang lalu dan abad ini berkembang bersamaan dengan globalisasi, cenderung memisahkan religiusitas dan agama dari budaya. Bahkan, lebih dari itu, sekularisme kadang-kadang juga melecehkan religiusitas dan agama serta mendewakan budaya. Religiusitas dan agama hanyalah dinilai sebagai “harta dari masa lalu”, yang sudah kehilangan relevansi dan signifikansi. Sebaliknya, budaya, terutama teknologi dan ilmu, dinilai sebagai “harta masa kini dan masa depan” yang memberi makna dan menyediakan berbagai hal bagi seluruh umat manusia. Menyadari pengaruh negatif dari sekularisme itu, perguruan tinggi sebaiknya membantu para mahasiswa untuk bersikap tepat terhadap religiusitas, agama, dan budaya. Religiusitas, agama, dan budaya adalah dua sisi mata uang dari hidup orang ber-iman. Orang beri-iman tidak “hidup dari roti saja, melainkan juga dari sabda Allah”. Orang ber-iman memang hidup di dunia ini, namun ia “tidak berasal dari dunia ini”. Bersamaan dengan itu, orang ber-iman haruslah sekaligus orang yang ber-budaya. Dengan ber-iman, ia tidak menjadi esoterik, yang hidupnya ada di awang-awang. Kakinya tetap menjejak bumi meskipun wajahnya menengadah ke sorga! Catatan-Catatan Kepustakaan Sikap optimis terhadap globalisasi dapat dilihat dalam buku Manfred B. Steger, “Globalisme. Bangkitnya Ideologi Pasar” (terjemahan Heru Prasetia), Lafadi Pustaka, Yogyakarta, 2006, h.233-239. Sikap yang pesimis dapat dilihat misalnya dalam buku Kavaljit Singh, “Questioning Globalization”, Madhyam Books, Delhi, 2005 dan dalam buku Walden Bello, “Deglobalization : Ideas for a New World Economy”, University Press Ltd, Dhaka, 2002. Sedang sikap yang netral dapat dilihat dalam buku Unesco, “Kebudayaan, Perdagangan, dan Globalisasi” (terjemahan PeMad), Kanisius, Yogyakarta, 2005. Tentang hirarki nilai dapat dibaca buku-buku karangan Max Scheler. Sedang tentang pandangan pokok tentang Max Scheler dapat dibaca misalnya buku K. Bertens, “Filsafat Barat Dalam Abad XX”, Gramedia, Jakarta, 1981, h.103-116 dan buku Paulus Wahana, “Nilai. Etika Aksiologis Max Scheler”, Kanisius, Yogyakarta, 2004. Tentang religiusitas, yang tidak harus terkait dengan agama tertentu, dapat dibaca buku Y.B.Mangunwijaya, “Sastra dan Religiositas”, Kanisius, Yogyakarta, 1988 dan buku Y.B.Mangunwijaya, “Ragawidya. Religiositas Hal-Hal Sehari-Hari”, Kanisius, Yogyakarta, 1986. Tentang hal-hal yang mendorong orang untuk beragama dapat dibaca buku Nico Dister, “Pengalaman dan Motivasi Beragama”, Kanisius, Yogyakarta, 1988. Tentang perbedaan dan hubungan antara religiusitas dan agama dapat dibaca buku Tom Jacobs, “Iman dan Agama”, Kanisius, Yogyakarta, 1992. Terkait cara orang-orang katolik Indonesia menghayati agama mereka secara aktual misalnya dapat dibaca buku I. Suharyo, “The Catholic Way. Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita”, Kanisius, Yogyakarta, 2009. Tentang religiusitas orang-orang muda dapat dibaca misalnya buku Michal Levin, “Spritual Intelligence”, (terjemahan Andri Kristiawan), Gramedia, Jakarta, 2005, dan buku Felly Kama et al. (Eds.), “Kecerdasan Spiritual, Religiusitas yang Memerdekakan, dan Masyarakat Sejahtera”, Yayasan Bhumiksara, Jakarta, 2002. Tentang hubungan antara agama dan ilmu dapat dibaca buku Alex Seran dan Embu Henriquez, “Iman dan Ilmu”, Kanisius, Yogyakarta, 1992. Tentang kaitan antara religiusitas dan aspek-aspek kehidupan modern dapat dibaca Felly Kama et al.(Eds.), “Iman, Ilmu, dan Budaya”, Yayasan Bhumiksara, Jakarta, 2005. Tentang peran dan sumbangan religiusitas dan agama bagi masyarakat dapat dibaca misalnya buku Widyahadi Seputra (Eds.), “Menggalang Persatuan Indonesia Baru. Sudut Pandang Tokoh Masyarakat, Pemuka Agama dan Kepercayaan”, KWI, Jakarta, 1999. Tentang penghayatan agama yang bermanfaat bagi masyarakat baik dibaca buku Franz Magnis-Suseno, “Beriman Dalam Masyarakat”, Kanisius, Yogyakarta, 1993; buku J.B.Banawiratma (Ed.), “Iman, Pendidikan, dan Perubahan Sosial”, Kanisius, Yogyakarta, 1991 dan buku John Locke, “Kuasa itu Milik Rakyat”, (terjemahan Widyamartaya), Kanisius, Yogyakarta, 2002. Tentang masalah-masalah aktual global dapat dibaca misalnya buku Al. Purwa Hadiwardoyo, “Tujuh Masalah Aktual. Sikap Gereja Katolik”, Kanisius, Yogyakarta, 2006. Tentang masalah-masalah lingkungan hidup dapat dibaca misalnya buku Otto Soemarwoto, “Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global”, Gramedia, Jakarta, 1991 dan buku Imam Supardi, “Lingkungan Hidup dan Pelestariannya”, Alumni, Bandung, 2003. Tentang hubungan antara agama dan negara dapat dibaca misalnya buku J.B.Sudarmanto, “Agama dan Ideologi”, Kanisius, Yogyakarta, 1987; buku Y.B.Sudarmanto, “Agama dan Politik Kekerasan”, Kanisius, Yogyakarta, 1989 dan buku Ricardo Antoncich, “Iman dan Keadilan” (terjemahan Budi Hardiman), Kanisius, Yogyakarta, 1991. http://www.aptik.or.id/artikel/globalisasi-religiusitas-agama-dan-mahasiswa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar